JAKARTA, HARIANAKSARA.NET, 19 Juli 2025 – Masyarakat Peduli Kesehatan yang diwakili oleh Dr. dr. Siti Fadilah Supari SPJP(K) dan Komjen Pol (Purn.) Dharma Pongrekun menggelar konferensi pers untuk menyerukan penolakan terhadap dominasi WHO dalam pembuatan kebijakan nasional, khususnya terkait Amandemen International Health Regulations (IHR).
Pada hari yang sama, WHO akan menetapkan amandemen IHR yang berisi prosedur standar operasional (SOP) dalam penanganan pandemi. Namun, amandemen ini dinilai merugikan negara-negara anggota, termasuk Indonesia. Banyak negara maju seperti Amerika Serikat dan Rusia sudah menolak amandemen tersebut, bahkan Amerika Serikat memutuskan keluar dari WHO.
Komjen Pol (Purn.) Dharma Pongrekun menyampaikan keyakinannya bahwa Presiden Prabowo Subianto sangat mencintai bangsa Indonesia. Namun, beliau dinilai belum sepenuhnya memahami persoalan dominasi WHO dan amandemen IHR karena kesibukan mengurus persoalan bangsa yang sangat kompleks.
“Oleh karena itu, kami mengajak masyarakat untuk menyuarakan hal ini kepada Presiden Prabowo. Tidak mungkin negara kita sebodoh itu, sementara negara lain sudah menolak dominasi WHO. Mari sebarkan informasi ini ke Presiden langsung, jangan melalui perantara yang bisa memberikan informasi palsu karena mereka memiliki agenda yang merugikan negara,” tegas Dharma Pongrekun.
Sementara itu, Dr. dr. Siti Fadilah Supari SPJP(K), mantan Menteri Kesehatan, mengingatkan tentang potensi hilangnya kedaulatan bangsa dan negara akibat amandemen IHR yang akan disetujui pada tanggal 19 Juli 2025 ini.
“Darurat pandemi akan ditentukan oleh Direktur Jenderal WHO (Pasal 1, 12, 49), bukan lagi oleh Presiden suatu negara. Ini merupakan pelanggaran kedaulatan kesehatan nasional. Jika disetujui, Presiden sekalipun tidak dapat melindungi rakyatnya sendiri karena harus tunduk pada WHO Treaty dan Pandemic Agreement,” jelas Dr. Siti Fadilah.
Amandemen IHR yang diadopsi secara konsensus pada 1 Juni 2024 dalam sidang World Health Assembly ke-77 ini masih bisa ditolak oleh negara-negara anggota hingga 19 Juli 2025. Jika pemerintah Indonesia tidak mengajukan penolakan resmi sebelum tanggal tersebut, maka amandemen ini akan berlaku efektif secara otomatis di Indonesia.
Sejak tahun lalu, kekhawatiran masyarakat sudah disampaikan, namun belum ada tanggapan serius dari pemerintah. Karena itu, Masyarakat Peduli Kesehatan mengimbau seluruh rakyat yang mencintai tanah air untuk segera menginformasikan isu ini kepada siapapun, terutama kepada Presiden, agar penolakan dapat dilakukan sebelum terlambat.
“Kalau lewat waktu, resikonya besar. Jika baru sadar setelah amandemen berlaku, maka pihak asing bersama WHO bisa menekan bahkan menghukum negara kita. Yang akan menderita tentu rakyat,” tambah Dr. Siti Fadilah.
Mengapa Amandemen IHR Harus Ditolak?
- Definisi “PANDEMI” disamakan dengan PHEIC (Public Health Emergency of International Concern) dan pengobatan gen serta sel dimasukkan ke dalam “produk kesehatan relevan” (Pasal 1).
- Penetapan darurat pandemi dilakukan secara otoriter oleh Direktur Jenderal WHO (Pasal 1, 12, 49).
- Beban finansial tanpa batas dibebankan kepada pemerintah negara anggota (Pasal 44).
- Tidak ada transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana, tanpa perlindungan konflik kepentingan (Pasal 44bis).
- Versi final amandemen tidak diserahkan oleh WHO minimal 4 bulan sebelum pemungutan suara (Pasal 55(2)).
- Orang sehat yang dianggap terpapar penyakit (OTG) wajib dikarantina, bertentangan dengan prinsip medis (Pasal 27).
- Memaksa operator transportasi melakukan “tindakan kesehatan” seperti menyemprot penumpang dengan zat kimia (Pasal 24.1(a), 24.1(b), Lampiran 4.1(c)).
- Negara wajib membuat undang-undang nasional sesuai keinginan WHO, mengganggu kebebasan sipil (Pasal 4). Di Indonesia tercermin dalam Omnibus Law Kesehatan Pasal 446.
- Prekualifikasi dan EUA (Emergency Use Authorization) pada semua produk kesehatan harus dilakukan oleh Direktur Jenderal WHO (Pasal 15, 16, 17, 18), yang berpotensi monopoli.
- Amandemen ini bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (Pasal 31.2).
Kami Menolak Keras:
- Intervensi supranasional WHO yang mengurangi kedaulatan negara.
- Sistem pengambilan keputusan tertutup yang mengesampingkan prinsip demokrasi dan akuntabilitas.
- Penerapan kebijakan kesehatan yang meminggirkan hak masyarakat untuk memilih, bertanya, dan mendapatkan informasi utuh serta independen.
Kami Meminta Pemerintah Indonesia untuk:
- Tidak menyetujui Amandemen IHR 2025.
- Melakukan kajian menyeluruh bersama masyarakat sipil, akademisi, dan ahli hukum.
- Menolak seluruh bentuk pengalihan kedaulatan kesehatan kepada lembaga internasional.
- Memastikan implementasi perjanjian ini tidak mengurangi kemampuan negara dalam mengambil keputusan sesuai kondisi dan kebutuhan masyarakat Indonesia.